WELCOME TO POROS PEMBAHARUAN BLOG............................Selamat Menjalankan ibadah Puasa Bagi Yang Melaksanakan, Sukses Selalu

UPAYA PEMENUHAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA∗)

>> Jumat, 09 April 2010

UPAYA PEMENUHAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA∗)

Perspektif Ekonomi Yang Bertumpu Pada Sumber Daya Alam
Oleh :
Lyndon B. Pangkali

KONDISI UMUM PAPUA
Sebagaimana diketahui bahwa luasan hutan di Papua relatif masih baik bila dibandingkandengan kondisi hutan di pulau-pulau lain di Indonesia. Menurut peta Kawasan Hutan dan Perairan Papua, luas hutan Papua tanpa Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan adalah 40.298.365 Ha. Akan tetapi bila termasuk KSA+KPA Perairan maka luas kawsan hutan dan perairan Papua adalah 42.224.840 Ha. Data yang dikutip dari FWI/GFW (2001), menunjukkan bahwa pada tahun 1985 data dari Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia : Luas Lahan Papua : 41.480.000 Ha dengan tutupan hutan (forest cover) : 34.958.300 Ha, dimana luas lahannya masih 84%. Akan tetapi, pada tahun 1997, luas lahan Papua adalah 40.871.146 Ha dengan Tutupan hutan seluas 33.160.231 Ha , atau luas lahannya tinggal 81%. Papua bagian dari Pulau New Guinea, merupakan pulau terbesar kedua di dunia, dengan keunikan alam yang tiada taranya. Papua merupakan suatu wilayah yang memiliki bentang alam, atau wilayah ekologis terlengkap di dunia, mulai dari hutan bakau (Mangrove) hingga wilayah Alpin yang bersalju abadi. Dengan kondisi geografis yang unik seperti ini telah membentuk keunikan dari pulau ini dalam hal kekayaan keanekaragaman hayatinya (biodiversity) yang juga tiada taranya di dunia.

Papua sebagai New Guinea, merupakan pemilik hutan tropis ke-3 di dunia setelah Brazil dan Congo. Namun pulau ini merupakan satu dari wilayah terkaya akan keanekaragaman hayatinya di dunia. Lebih dari 20.000 jenis tumbuhan berkayu yang ada di Papua, telah menyumbang sekitar 6.7 % tumbuhan dunia, memiliki kekayaan anggrek terbanyak di duia, lebih dari 2.000 jenis anggrek telah ditemukan di Papua. Jenis ikan, baik ikan laut maupun ikan air tawar juga sangat kaya. Kepulauan Raja Ampat merupakan pusat keaenekaragaman hayati laut dunia, dengan keunikan dan keragaman terumbu karang Nya. Hutan bakau terluas ada di wilayah ini, demikian halnya Papua merupakan pusat persebaran sagu terluas di dunia. Satu hal yang juga sangat unik, bahwa Papua sebagai New Guinea, merupakan pusat persebaran suku-suku bangsa di dunia, dimana ada sekitar 1.100 bahasa di pulau ini. Ini berarti seper lima (1/5) bahasa-bahasa di dunia ada di Pulau New Guinea. ∗) Disampaikan pada Konferensi Gereja dan Masyarakat di Tanah Papua, tanggal 14-17 Oktober 2008, Hotel Sentani Indah-Sentani-Jayapura.
Dari luasan wilayah hutan yang ada, ternyata bahwa luasan hutan wilayah hutan ini tidak kosong, artinya tanpa pemilik atau tidak bertuan sebab setiap jengkal dari tanah yang ada di seanteroh Papua ada pemiliknya. Sampai dengan tahun 1999, Summer Institute of Linguistic (SIL) baru mencatat ada 264 kelompok bahasa di seluruh Tanah Papua. Bahasa menunjukan bangsa, maka dengan demikian ada sekitar 264 bahasa yang baru tercatat di Tanah Papua. Tanah Papua masih misterius hingga saat ini, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa akan teridentifikasi penutur-penutur bahasa yang lain di tanah Papua yang kelak kemudian akan menambah khasanah suku-suku bangsa di Tanah Papua.

LUAS HUTAN PAPUA
Papua memiliki areal penutupan hutan yang masih relatif luas bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 891/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Irian Jaya (Papua), luas kawasan hutan di wilayah ini seluas 42.224.840 Ha, yang terdiri dari :
Hutan Produksi Terbatas : 2.054.110 Ha (5%)
Hutan Produksi Tetap : 10.585.210 Ha (25%)
Hutan Produksi Konversi : 9.262.130 Ha (22%)
Hutan PPA : 8.025.820 Ha (19%)
Hutan Lindung : 10.619.090 Ha (25%)
Kawasan Perairan : 1.678.480 Ha (4%)

EKSPLOITASI SUMBERDAYA ALAM DI TANAH PAPUA
Berdasarkan data tersebut di atas, terlihat bahwa keseluruhan kawasan hutan produksi Papua seluas 21.901.450 Ha (52%) dari luasan kawsan hutan Papua. Sampai tahun 2003 lalu, jumlah perusahaan HPH /IUPHHK yang beroperasi di tanah Papua sebanyak 68 unit dan 2 unit HPHTI dengan total areal luas dari konsesi-konsesi tersebut seluas 12.626.779 Ha. Ini berarti bahwa penggunaan kawasan hutan produksi oleh HPH/IUPHHK telah mencapai 57,65% sedangkan sisanya seluas 9.274.671 Ha (42,35%) merupakan hutan produksi yang belum diusahakan. semua ini merupakan kondisi masa lalu yang masih tetap aktual, walaupun jumlah HPH/IUPHHK berkurang tetapi masih eksis hingga saat ini. Ada beberapa perusahaan yang sudah tidak beroperasi, baik dalam kondisi stagnan atau bahkan sudah berakhir masa izin HPH-nya, tetapi saat ini masih ada juga perusahaan-perusahaan yang baru masuk di Tanah Papua untuk berinvestasi lagi.
Walaupun telah disebutkan bahwa tak ada sejengkal tanah pun yang tak bertuan, namun kenyataannya di atas tanah-tanah adat ini telah terjadi “penguasaan atau pengalihan hak adat” dari masyarakat adat yang masih hidup sederhana di atas tanah adatnya kepada pihak pengusaha yang tak pernah dikenalnya. Perusahaan-peruhsahaan yang “menyerobot” tanah-tanah adat ini pada umumnya memiliki kantor pusat di Jakarta atau di luar Papua dan menyerahkan urusan-urusan negosiasi dengan pemerintah daerah maupun masyarakat adat kepada karyawan atau staf rendahan. Alhasil, perusahaanperusahaan ini dapat masuk dan beroperasi di Tanah Papua. Tidak pandang, apakah perusahaan itu bergerak dalam perusahaan ektraktif di bidang pertambangan, kehutanan, kelautan, dan usaha-usaha ekstraktif lainnya. Bila ada masalah yang terjadi atau sengketa antara perusahaan dan masyarakat dan atau pemerintah, sangat sulit untuk mendatangkan pimpinan perusahaan dan juga dalam mengambil kebijakan-kebijakan tertentu yang berkaitan dengan usaha di daerah senantiasa harus menunggu keputusan dari pimpinan yang berada di Jakarta atau di berbagai tempat di luar Papua.
Saat sengketa terjadi dengan masyarakat adat pemilik hak adat atas hutan, tanah dan air, pihak perusahaan paling sering mengatakan :” Bos lagi keluar, bos sedang tidak di tempat, bos di Jakarta dan kami sulit menghubunginya, dan sebagainya .... dan sebaginya...” Selama kurang lebih 30 tahun terakhir pembangunan kehutanan di Indonesia berorientasi pada konglomerasi. Hutan hanya dipandang sebagai suatu sumber ekonomi bagi penghasil devisa negara dan kurang memandang fungsi hutan sebagai fungsi sosial. Berbagai kebijakan pemerintah yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada BUMN dan swasta dengan peraturan-peraturan yang banyak dan ketat, namun porsinya masih kurang pada aspek social budaya masyarakat dalam pengelolaan hutan, mengakibatkan timpangnya kesejahteraan masyarakat dan tersisihnya masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Disatu sisi Negara mendapatkan devisa yang cukup besar dari pembangunan kehutanan, namun ironisnya pendapat yang besar ini tidak dibarengi dengan pemerataan pembangunan khususnya belum tersentuhnya masyarakat di dalam dan disekitar hutan.
Kondisi ini diperparah lagi dengan ada beberapa perusahaan yang tidak beroperasi tetapi izin HPH-nya tidak dikembalikan ke negara tetapi sering di sub-kontraktorkan ke pihak kedua dan atau pihak ketiga. Perusahaan itu mengambil fee-nya saja. Dengan status usaha yang “masih mengantung” ini, menyebabkan kerugian kepada pihak pemerintah daerah dan juga kepada masyarakat adat pemilik hutan adat tersebut. Demikian halnya dengan usaha perkebunan. Saat ini perusahaan-perusahaan perkebunan berduyun-duyun datang ke Papua dan ramai-ramai mengajukan izin agar dapat berusaha di Tanah Papua. Apakah usaha perkebunan sawit, tebu, jambu mete, kapas bahkan perusahaan HTI (hutan tanaman industri). Setelah wilayah lain sudah tidak “sexy” lagi maka mereka melirik hutan-hutan Papua. Sebab, pada umumnya perkebunan besar seperti sawit, kakao (dalam skala besar), tebu dan jenis komoditi perkebunan lainnya selalu
mengandalkan unsur hara tersedia dari hutan-hutan primer yang akan ditebang dan untuk pertumbuhan awal tanaman-tanaman perkebunan ini akan mengandalkan unsur hara ini lebih dahulu sebelum kemudian akan diberi input pupuk. Dengan kondisi ini perusahaan akan diuntungkan karena tidak memberikan input pupuk yang berarti akan mengeluarkan biaya eksta. Seandainya izin perkebunan diberikan kepada perusahaan perkebunan sawit atau cacao di daerah tandus atau lahan kritis, maka utuk memacu pertumbuhan awal maka perusahaan akan mengolah tanah lebih dahulu dalam jumlah luasan yang luas, memberikan pupuk dalam jumlah banyak sesuai dengan luasannya, maka perusahaan akan berpikir dua kali sebelum melakukan investasi perkebunan.
Sejak tahun 1990 – 2003, telah terjadi pelepasan kawasan hutan seluas 546.426,63 Ha dan sudah tentu dalam era otonomi saat ini, ada banyak inisiatif dari investor-investor di bidang perkebunan yang datang silih berganti untuk meminta izin perkebunan di kabupaten-kabupaten di Tanah Papua. Hal memohon izin untuk berinvestasi di suatu daerah bukanlah hal tabu. Tetapi saat ini pemerintah dan masyarakat adat di Tanah Papua harus lebih bijaksana dalam melihat segala hal yang terjadi di sekitar kita, diluar Papua, dan bahkan di tingkat global. Bagaimana dampak yang terjadi bila variabel penting lainnya tidak diperhitungkan dengan baik seperti variabel lingkungan dan sosial budaya. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dan masyarakat adat Papua harus lebih bijaksana melihat hal ini. Jangan mengulangi kesalahan yang sama yang telah terjadi di wilayah lain. Hingga saat ini belum ada contoh yang baik yang dapat dipetik dari suatu usaha perkebunan di Indonesia.
Akan tetapi model pendekatan yang dilakukan oleh kebanyakan usaha perkebunan sawit adalah dengan sistem “pencangkokan”, dimana perusahaan akan mengambil beberapa orang secara subyektif atau sengaja kemudian dibawa ke perkebunan-perkebunan lain, kebanyakan dalam group perusahaan tersebut, di luar Papua kemudian ditunjukan hal-hal yang menurut pihak perusahaan atau investor “baik” dan juga diberikan “bekal” informasi seadanya yang menunjukkan bahwa perkebunan sawit baik dan menguntungkan masyarakat adat Papua, maka diharapkan ketika kembali mereka akan langsung menjadi ujung tombak dalam sosialisasi perkebunan sawit kepada kelompok masyarakatnya. Hal ini bila terus dilakukan maka akan menjadi “mimpi buruk” di masa depan. Informasi yang diberikan tidak seimbang sebab hanya dari sisi keuntungannya saja yang ditonjolkan tetapi apa dampak negatif dari usaha pekebunan ini dan perusahaan berkesan tidak memberikan informasi yang jujur kepada masyarakat adat.
Masyarakat adat termasuk masyarakat umum memiliki hak untuk mendapat informasi yang benar kemudian masyarakat memiliki hak untuk mementukan pilihan, apakah mau menerima suatu investasi atau tidak. Dengan informasi yang tidak benar dan tidak terbuka, akan menyulitkan pihak perusahaan dan pemerintah di masa yang akan datang karena akan ada tuntutan-tuntutan atau re-claiming oleh masyarakat karena ketidak adilan dan mereka merasa tertipu oleh suatu keputusan yang diambil dimasa lalu atas informasi yang tidak benar yang diterima. Selain itu, masyarakat juga, setelah mengalami dampak yang dideritanya maka mereka akan balik menuntut. Berbagai pertimbangan yang diutarakan di atas, ternyata bahwa hingga saat ini masih saja ada beberapa pemerintah daerah yang merekomendasi izin-izin perkebunan dalam jumlah luasan yang amat luas. Pertimbangannya demi meningkatkan income daerah (PAD), membuka lapangan kerja, dan berbagai pertimbangan yang dianggap “logis” menuru mereka tetapi belum didukung dengan pertimbangan data dan informasi yang tepat sebagai dasar menganalisis suatu wilayah investasi maka kemudian akan memanen bencana ekologis dan sosial dimasa yang akan datang.

APA YANG DIDAPAT DARI USAHA EKSTRAKSI SUMBER DAYA ALAM
Dari sektor kehutanan, sampai dengan tahun 1997, produksi kayu bulat di Papua menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Setelah krisis moneter tahun 1997, realisasi produksi kayu menurun bahkan setelah diberlakukannya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, produksi kayu bulat menurun tajam sebesar 17,43% menjadi hanya sekitar 1 jutaan m3 pada tahun 2001 dan sebesar 42% menjadi 600 ribuan m3 pada tahun 2002 (Parwito,2003 dalam Tokede M.J, 2005).
Pada periode tahun 1993/1994 sampai tahun 2002, total realisasi pendapatan daerah Papua sebesar Rp 1,79 Trilyun, dari total pendapatan itu sektor kehutanan hanya menyumbang sebesar 120,22 milyar atau rata-rata sebesar Rp 12 milyar per tahun.
Dengan kata lain dari sektor kehutanan hanya menyumbang 6,7% per tahun terhadap pendapatan total daerah Papua. Dan dari tahun ke taun kontribusi sektor kehutanan cenderung terus menurun.
Ada banyak hal yang terjadi dan haruslah kita memetik hikmah dari semua fenomena yang terjadi tersebut. Bagaimana praktek-praktek pengusahaan hutan selama ini, bagaimana praktek-praktek usaha perkebunan selama ini, bagaimana dengan praktek di areal pertambangan dan bagaimana nasib para nelayan tradisonal dengan kehadiran kapal-kapal penangkap ikan di wilayah tangkapan tradisonal mereka?
Dalam konteks Otonomi Khusus Papua, seberapa besar sebenarnya penerimaan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dimiliki oleh Papua? Berapa besar pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam dan bagaimana distribusi pendapatan ini terhadap pemerintah daerah, baik Provinsi mapupun Kabupaten/Kota dan sebera besar pendapatan yang diperoleh tersebut terdistribusi sampai ke tingkat masyarakat, terutama masyarakat adat sebagai pemilik sumber daya alam tersebut. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Pasal 34 ayat 3 (b) bagi hasil sumber daya alam : 1) Kehutanan sebesar 80%, 2) Perikanan sebesar 80%, 3) Pertambangan Umum sebesar 80%, Pertambangan minyak bumi sebesar 70%, dan Pertambangan Gas Alam sebesar 70%.
Bila memperhatikan berbagai sumber-sumber penerimaan provinsi dan kabupaten/kota, sumber pendapatan dari bagi hasil sumberdaya alam kurang mendapat tekanan. Pada hal, Papua masih mengandalkan sumber daya alama sebagai modal dasar pembangunan. Artinya ekstraksi sumber daya alam terus masih menjadi andalan tetapi sebesarapa besar kesadaran untuk mendapatkan haknya berdasarkan porsi persentasi sesuai dengan undang-undang Otsus. Berapa besar nilai rupiah yang harus diperoleh sebagai pendapatan dari perusahaan PT. Freeport, berapa besar dari perusahaan perkebunan, berapa besar pendapatan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan kayu yang beroperasi di Tanah Papua ? berapa besar pendapatan yang diperoleh dari Perusahaan gas bumi dari PT. Tanguh di Bintuni, atau bahkan dari perusahaan-perusahaan perikanan yang beroperasi di perairan Papua?
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA) yang dibagikan adalah komponen Non Pajak. Dari sektor kehutanan, sumber pendanaan yang dapat dibagihasilkan adalah Dana Reboisasi, Provisi Sumber Daya Hutan, dan Iuran Hak Pengelolaan Hutan. Dari sector perikanan, sumber daya yang dibagihasilkan adalah Prosedur Perizinan Perikanan, dan Pengolahan Hasil Perikanan. Sedangkan sektor MIGAS, yang dibagihasilkan adalah berdasarkan Net Operating Income dari kontrak. NOI atau Pendapatan Bersi Operasi adalah pendapatan dari kontraktor setelah dikurangi segala biaya operasi. Sedangkan untuk pertambangan umum yang dibagi hasilkan adalah Royaliti dan Iuran Tetap dari usaha pertambangan. Untuk Royalti dihitung dalam persentase, dan Iuran Tetap dikenakan persatuan luas dan dibedakan berdasarkan
a. Kontraktor PMA atau PMDN,
b. Perpanjangan atau baru dan
c. Jenis dan kualitas bahan galian.

MASYARAKAT PAPUA DAPAT APA DARI SUMBER DAYA ALAMNYA ?
Pengusahaan hutan di Tanah Papua telah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu dimana telah dimulai dengan pendekatan teknologi yang sederhana kemudian mengalami peningkatan yang terus menerus hingga saat ini dengan teknologi maju dan produk kayu yang dihasilkan pun beraneka ragam. Banyak perusahaan-perusahaan konglomerasi yang membentuk anak-anak perusahaan dalam mengembangkan strategi bisnis mereka untuk meraup keuntungan yang besar dari usaha mereka dibidang eksploitasi sumber daya alam.
Disatu sisi perusahaan berusaha mendapatkan keuntungan yang besar, disisi lain masyarakat adat di sekitar dan di dalam hutan bergulat dengan waktu untuk memperbaiki hidup mereka ke arah yang lebih baik. Terkadang masyarakat adat belum menyadari bahwa berapa besar dan banyaknya sumber daya alam yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan posisi tawar dari masyarakat sangat rendah saat berhadapan dengan pihak lain. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki belum diolah dengan baik dan dalam kondisi yang lazim, seolah-olah masyarakat adat bukanlah menjadi pemilik atas sumber daya alam. Bila ada suatu investasi yang masuk ke daerah tersebut, ternyata telah mendapatkan restu dari para pejabat, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten tanpa lebih dahulu melakukan berdialog dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak atas sumber daya alam.
Salah satu terobosan yang dibuat oleh para pegiat-pegiat lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan pendampingan masyarakat adat guna meningkatkan kapasitas masyarakat adat adalah malalui program Pemetaan Partisipatif Sumber Daya Alam Masyarakat Adat. Dengan pendekatan ini masyarakat adat lebih terorganisir secara baik dalam meningkatkan kapasitas masyarakat adat untuk merencanakan ruang kelola atas sumber daya alamnya. Dengan pendekatan ini, terjadi proses transformasi dan terjadi transfer pengetahuan kepada masyarakat adat supaya konsep “jangan beri ikan kepada masyarakat adat tetapi berilah kail dan beritahu cara menggunakan kail itu dengan baik kepada masyarakat adat maka kemudian hari mereka akan menggunakan kail itu sendiri untuk memancing ikan yang lebih banyak lagi”. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan pemetaan partisipatif ini adalah melakukan inventarisasi sumber daya alam masyarakat adat. Dengan mengetahui potensi sumber daya alam secara baik maka salah satu dampak positif yang dapat dialami oleh masyarakat adat adalah posisi masyarakat menjadi kuat dalam bernegosiasi dengan pihak lain yang ingin mengakses sumberdaya alam mereka.
Kenyataan lainnya, bahwa dari asset masyarakat adat berupa hutan, telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, perusahaan HPH, pertambangan, dan usaha-usaha lain di atas sumber daya alam masyarakat selama bertahun-tahun. Masyarakat hanya menonton kayu mereka dibawa keluar dari tanah adat mereka. Mereka hanya menyaksikan hutan-hutan mereka ditebang menjadi lapangan luas. Hasil-hasil galian tambang dibawa keluar dan sekali lagi mereka hanya menonton saja. Mereka menjadi penonton setia. Adakah segenggam hak yang dimiliki oleh masyarakat adat di tanah Papua.
Dalam kondisi politik seperti saat ini, posisi status otonomi Khusus sangat strategis bagi masyarakat adat Papua untuk menaikkan posisi mereka. Sudah tentu harus difasilitasi oleh pemerintah daerah. Masyarakat berhak mengetahui “berapa potong berkat” yang dapat dibawa pulang dari pesta Otsus yang sedang berlangsung ? Sudah sekian lama terjadi pengurasan atas sumber daya alam milik masyarakat adat di Tanah Papua, hingga datang pada suatu masa dimana terjadi pengakuan atas hak-hak dasar orang Papua.
Hak-hak dasar seperti apa yang diakui dan harus terpenuhi dalam status Otsus ? Hak hidup merupakan hak mutlak. Hak hidup di atas tanah adatnya sendiri. Hak ekonomi harus terpenuhi dan harus mendapat tempat yang terdepan demikian juga dengan hak sosial dan budaya. Kondisi Papua seperti saat ini, bila tidak terbenahi dengan baik maka masyarakat adat Papua pasti akan terpinggirkan. Kondisi dimana masyarakat Papua tidak akan lagi menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Pengalaman masa lalu, dimana perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Papua, lebih mengejar keuntungan semata daripada pekerjaan lain yang menimbulkan biaya social yang kemudian dianggap pengeluaran yang kurang diinginkan. Pada sektor kehutanan, pemerintah telah mengelurakan aturan yang mewajibkan perusahaan HPH untuk membuat progran pengembangan masyarakat dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat dengan berbagai program yang ditawarkan sesuai dengan karakterisitik wilayah, tetapi karena aspek ini bukan merupakan “Core Bussiness” dari perusahaan sehingga aspek ini sering diabaikan. Hal in dibuktikan dengan kebanyakan laporan RKT HPH Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) masih berisikan data-data yang fiktif, dan hanya supaya RKT tahun berikut dapat ditanda- tangani.
Bila aspek ini ditangani dengan baik maka bidang pendidikan dapat ditingkatkatkan, tetapi bidang ekonomi kerakyatan juga dapat dikembangkan sesuai dengan potensi daerah dimana perusahaan itu beroperasi. Sebab dikebanyakan perusahaan juga membangun sekolah-sekolah dasar, gereja, dan juga poliklinik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar perusahaan. Tetapi ini merupakan tanggung jawab sosial dari pihak
perusahaan terhadap masyarakat adat sekitarnya. Saat perusahaan selesai beroperasi maka sekolah-sekolah kembali tutup dan tidak ada lagi guru di lokasi. Seolah-olah tanggung
jawab ini untuk perusahaan.
Dalam aturan di negara ini, urusan kesejahteranaan masyarakat menadi tanggung jawab negara. Pemerintah mempunyai mekanisme untuk menyelsaikannya. Dan dalam konteks negara ini pula, dengan skema Otsus, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya. Rakyat Papua di Tanah Papua tidak lebih dari 3 juta jiwa sedangkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah daerah untuk memenuhi hak-hak dasar orang Papua sangat luas, termasuk hak ekonomi kerakyatan, hak pendidikan dan hak kesehatan.
Dari semua pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah daerah dalam kerangka otsus dan juga dari sumber pendapatan lainnya yang sah, seharusnya pemenuhan akan hak-hak dasar orang Papua sudah harus terpenuhi. Kerangka pembiayaan dalam skema Otsus yang sempat “disebut-sebut” hanya berlaku selama 25 tahun dalam masa Otsus, bila itu benar maka sejak digulirkannya Otsus tahun 2001 hingga tahun 2008, maka sisa waktu yang ada tinggal 18 tahun lagi. Waktu 18 tahun bukanlah waktu yang lama sehingga diharapkan ada “Blue Print” rencana pembangunan yang baik yang telah direncanakan untuk jangka panjang, yang walaupun berganti kepala daerah, rencana pembangunan yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Papua dapat terlaksana dengan baik.
Rencana pembagunan dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam konteks Otsus janganlah hanya menjadi wacana belaka yang kemudian masyarakat Papua kembali menangis lagi karena hak-haka dasarnya tidak terpenuhi selama berlangsung pembangunan dalam kerangka otsus di tahun-tahun yang akan datang. Dari sektor kehutanan, telah dicanangkan Peraturan Daerah Provinsi tentang Pengelolaan
Hutan Lestari Berbasis Masyarakat Adat. Dimana pada kebijakan ini, masyarakat adat Papua memiliki hak ruang kelola sumberdaya alam sangat besar dan masyarakat adat berperan bukan lagi sebagai objek, seperti yang terjadi di masa lalu tetapi menjadi subyek sehingga masyarakat adat dapat menentukan masa depan mereka maupun kelestarian dari sumber daya alam mereka. Pemeritah akan berperan menjadi fasilitator dan mediator guna memfasilitasi proses kemandirian dari masyarakat adat Papua. Dengan demikian diharapkan “Masyarakat Sejahtera dan Hutan tetap Lestari”.
Klik Baca Selengkapnya........---->>>> - UPAYA PEMENUHAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA∗)

:)

free counters

Live Traffic Map

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP  

offsetWidth); }